Pencarian

Ketua Fraksi Golkar DPRD Pekanbaru Tinjau Dampak Banjir Akibat Tol Pekanbaru–Rengat

GOLKAR PEKANBARU - Komisi IV DPRD Kota Pekanbaru melakukan kunjungan kerja ke lapangan untuk menindaklanjuti keluhan masyarakat terkait dampak pembangunan Jalan Tol Pekanbaru–Rengat. Keluhan warga mencakup rusaknya fasilitas sosial dan fasilitas umum (fasos-fasum), terganggunya sistem drainase yang memicu banjir, serta penggusuran rumah dan lahan tanpa kejelasan ganti rugi. Kunjungan lapangan tersebut dilaksanakan pada Rabu (24/12/2025).

Kunjungan dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi IV DPRD Pekanbaru, Nurul Ikhsan, didampingi Sekretaris Komisi IV Roni Amriel, serta anggota Komisi IV lainnya yakni Zulkardi, Zulfan Hafiz, Pangkat Purba, Ervan, dan Nofrizal. Rombongan turun langsung ke sejumlah titik terdampak pembangunan jalan tol, termasuk Perumahan Citra Palas Sejahtera di Kecamatan Rumbai Barat, yang selama ini dilaporkan warga kerap mengalami banjir pascapembangunan tol.

Sekretaris Komisi IV DPRD Pekanbaru, Roni Amriel, menyampaikan bahwa peninjauan lapangan dilakukan untuk memastikan secara langsung kondisi riil yang dikeluhkan masyarakat. Menurutnya, DPRD tidak ingin hanya menerima laporan di atas kertas, tetapi melihat sendiri fakta yang terjadi di lapangan.

“Kita turun langsung ke lapangan, pertama di Perumahan Citra Palas Sejahtera, Rumbai Barat. Kita kunjungi bersama OPD terkait. Namun sangat disayangkan, BPN dan dinas yang menjadi leading sector perumahan dan permukiman tidak hadir,” ujar Roni di sela-sela kunjungan.

Dari hasil peninjauan tersebut, Komisi IV menemukan fakta bahwa parit yang selama ini berfungsi sebagai saluran drainase utama perumahan telah ditimbun. Penimbunan parit itu menyebabkan aliran air terhambat dan berujung pada banjir yang menggenangi kawasan permukiman warga.

“Yang kita temukan di lapangan bukan sekadar parit tersumbat, tetapi parit itu ditimbun. Akibatnya drainase buntu, air tidak mengalir ke sungai. Ketika debit sungai naik, kawasan perumahan langsung tergenang banjir,” jelas Roni.

Komisi IV DPRD Pekanbaru menilai persoalan drainase tersebut tidak bisa dilepaskan dari aspek legalitas lahan. Oleh karena itu, DPRD akan menegaskan persoalan ini kepada Badan Pertanahan Nasional, khususnya terkait keabsahan pengukuran lahan yang dilakukan di kawasan tersebut.

“Kami ingin memastikan, dalam SHGB atau SKGR pemilik lahan atau developer, apakah parit itu termasuk objek yang diukur atau tidak. Kalau memang ada parit, saya yakin BPN tidak akan mengukur parit sebagai lahan,” tegasnya.

Selain persoalan drainase, Komisi IV juga menemukan bahwa fasilitas sosial dan fasilitas umum yang tercantum dalam site plan perumahan telah digunakan untuk kepentingan proyek jalan tol. Bahkan, jalan lingkungan perumahan serta lahan aktivitas warga yang seharusnya menjadi ruang publik kini masuk dalam wilayah proyek tol.

“Kita cek site plan tata ruang yang dikeluarkan waktu itu. Di dalamnya jelas ada fasos dan fasum. Tapi di lapangan, fasos-fasum tersebut sudah masuk wilayah jalan tol, termasuk jalan lingkungan perumahan dan lahan aktivitas warga,” ungkap Roni.

Kondisi tersebut dinilai sangat merugikan masyarakat, mengingat fasos dan fasum merupakan syarat utama dalam penerbitan izin perumahan. Hilangnya fasilitas tersebut tidak hanya berdampak pada kenyamanan dan keselamatan warga, tetapi juga berpotensi melanggar ketentuan perizinan.

“Fasos-fasum itu syarat mutlak untuk mendapatkan site plan dan izin mendirikan perumahan. Tapi yang kita temukan, fasos-fasum itu justru dijual ke pihak tol. Ini jelas merugikan warga,” katanya.

Dalam kunjungan tersebut, Komisi IV juga melihat langsung penggusuran rumah dan lahan masyarakat yang hingga kini belum mendapatkan ganti rugi dari pihak Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Tol maupun Kementerian PUPR. Bahkan, DPRD menilai penetapan trase jalan tol di lapangan terkesan tidak adil.

“Kita lihat sendiri di lapangan, rumah warga dibongkar. Kita juga melihat trase tol ini berbelok-belok, seolah menghindari bangunan tertentu. Akhirnya masyarakat tertentu yang justru menjadi sasaran penggusuran,” tambah Roni.

Roni mengungkapkan bahwa Komisi IV DPRD Pekanbaru sebelumnya telah memanggil BPN dan PPK Tol dalam rapat dengar pendapat (RDP). Namun hingga kini, data penting yang dibutuhkan DPRD terkait pembebasan lahan dan ganti rugi belum juga diserahkan secara lengkap.

“BPN minta waktu, PPK Tol tidak hadir dan hanya diwakili staf. Itupun tidak bisa memberikan informasi yang kami butuhkan. Ini yang membuat persoalan semakin tidak jelas,” tegasnya.

Berdasarkan hasil kunjungan lapangan tersebut, Komisi IV mencatat tiga temuan utama. Pertama, penimbunan parit drainase yang menyebabkan banjir di kawasan permukiman. Kedua, fasos dan fasum perumahan yang masuk ke wilayah jalan tol. Ketiga, penggusuran rumah dan lahan masyarakat tanpa kejelasan ganti rugi.

“Kami sangat menyayangkan kondisi ini. Padahal dari awal masyarakat sudah diundang, disosialisasikan, bahkan sudah divalidasi. Tinggal menunggu pembayaran, tetapi tiba-tiba muncul aturan lama tahun 1959 dan 1970-an. Ini menunjukkan pihak-pihak terkait tidak mempelajari mekanisme pembebasan lahan secara komprehensif,” kata Roni.

Ia juga menyoroti dampak ekonomi yang dialami warga akibat penggusuran tersebut. Sejumlah masyarakat kehilangan rumah sekaligus tempat usaha, sehingga roda perekonomian keluarga terhenti.

“Ada masyarakat yang ekonominya mati total. Rumah dan tempat usaha digusur, tapi tidak ada ganti rugi. Bahkan pemerintah terkesan abai. Karena itu tadi Komisi IV turun langsung membantu sembako agar mereka bisa bertahan,” ujarnya.

Komisi IV DPRD Kota Pekanbaru, kata Roni, berkomitmen untuk terus mengawal persoalan ini hingga hak-hak masyarakat benar-benar terpenuhi.

“Kami berkomitmen mendorong agar minimal ganti rugi fisik bangunan rumah, taman, dan fasilitas warga itu dibayarkan. Untuk lahan yang berstatus BMN, kami akan menempuh upaya hukum lain agar hak masyarakat tetap terpenuhi,” imbuhnya.

Dalam kesempatan yang sama, Roni juga menegaskan bahwa Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) tidak dapat secara bebas membuat perjanjian kerja sama atas aset tanpa sepengetahuan dan persetujuan Pemerintah Provinsi (Pemprov) atau DPRD dalam kondisi tertentu. Menurutnya, pengelolaan aset BUMD, khususnya yang berasal dari kekayaan daerah yang dipisahkan, tunduk pada mekanisme pengawasan dan persetujuan berlapis sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Ia merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD serta peraturan terkait pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD). Aset yang berasal dari penyertaan modal pemerintah daerah ke BUMD memang menjadi kekayaan daerah yang dipisahkan dan tercatat sebagai modal atau aset BUMD. Namun demikian, pengelolaannya tetap berada dalam pengawasan dan harus dipertanggungjawabkan kepada pemerintah daerah.

Dalam Perusahaan Perseroan Daerah (Perseroda), kekuasaan tertinggi berada pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), di mana kepala daerah bertindak sebagai salah satu pemegang saham atau Kuasa Pemegang Modal (KPM). Sementara dalam Perusahaan Umum Daerah (Perumda), pengawasan dilakukan oleh Dewan Pengawas, dan direksi bertanggung jawab kepada KPM.

“Direksi memang mewakili BUMD untuk menandatangani perjanjian kerja sama, tetapi harus sesuai anggaran dasar dan mendapat persetujuan organ di atasnya, terutama untuk hal-hal strategis seperti pendayagunaan aset tetap,” jelas Roni.

Ia menambahkan, perjanjian kerja sama yang berdampak signifikan, berjangka waktu panjang, atau melibatkan penyerahan kewenangan publik tertentu, sering kali memerlukan persetujuan DPRD guna menjamin kepentingan masyarakat dan pemerintah daerah. Selain itu, setiap perubahan modal yang berpotensi menambah pembebanan BUMD atau mengarah pada privatisasi aset juga wajib memperoleh persetujuan DPRD.

“Penggunaan Barang Milik Daerah sebagai penyertaan modal pun harus ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Artinya, BUMD tidak memiliki kebebasan mutlak untuk mengelola asetnya tanpa sepengetahuan Pemprov,” katanya.

Menurut Roni, mekanisme pengawasan dan persetujuan bertingkat yang melibatkan direksi, KPM atau RUPS, serta DPRD, dirancang untuk memastikan akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi dalam pengelolaan kekayaan daerah. Pengaturan rinci terkait hal tersebut juga diatur dalam peraturan daerah setempat, seperti peraturan kepala daerah tentang pedoman kerja sama BUMD.

Dengan temuan-temuan tersebut, Komisi IV DPRD Kota Pekanbaru menegaskan akan terus mengawal dan memperjuangkan hak-hak masyarakat terdampak pembangunan Jalan Tol Pekanbaru–Rengat, agar pembangunan infrastruktur strategis tidak mengorbankan keadilan dan kesejahteraan warga.